Judul diatas sebenarnya adalah kewajiban
bagi setiap pergerakan. Entah itu pergerakan yang mengarah ke negatif
ataupun positif tergantung dari perspektif masing-masing individu.
Ibarat tumbuhan pemimpin adalah buah dari kader-kader unggulan yang
terpilih. Maka demi eksistensinya tumbuhan tersebut haruslah
meregenarasi atau menumbuhkan tunas baru seiring berjalannya waktu.
Tumbuhan pun menyadari akan pentingnya proses regenerasi dalam diri agar
jenisnya tetap lestari di muka bumi, begitupun dengan kehidupan
organisasi umum khususnya organisasi dakwah.
Organisasi dakwah merupakan organisasi
yang memiliki penguat yang berbeda di banding dengan organisasi yang
ada. Elemen penguat itu adalah nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Allah
SWT dari setiap anggota yang bernaung dalam payung organisasi tersebut.
Elemen itu dapat diisi ulang dengan intensitas ibadah anggota ataupun
kader. Dikarenakan penguatnya adalah iman dan taqwa ,tak jarang cobaan
silih berganti menghadang mereka. Hanya sebagian orang yang akan
menyandang status sebagai orang pilihan yang akan mampu bertahan menjadi
sosok yang terpilih dan lulus seleksi atas konsekuensi iman yang mereka
tempuh.
Hebatnya diantara orang-orang pilihan
tersebut, masih akan ada penyeleksian kembali untuk disahkan menjadi
seorang yang memegang tanggung jawab dan amanah yang berat. Amanah
tersebut tak lain adalah menjadi seorang pemimpin. Seseorang yang
berkewajiban menentukan arah, mengatur kondisi, dan menghasilkan karya
nyata dari implementasi apa yang ia pelajari selama ini.
Sebelum membahas pentingnya menciptakan
kader yang berkarakter pemimpin mari kita samakan presepsi tentang
kepemimpinan. Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan
sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab
kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata
untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani umat.
Diantaranya akan saya jelaskan beberapa Kriteria pemimpin:
Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran
dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus
dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya
terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul
sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu kebenaran dan
kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan
tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang
menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang
diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih
lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu
kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan
menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4).
Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas
segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi).
Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).
Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa
ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24
dan Al-Anbiyaâ (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran
dan ketabahan. “Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah”.
Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan
pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan
syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang
lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat
(kesabaran) tersebut. (2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada
umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21):
73, “Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami”. Pemimpin dituntut
tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang
kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan
menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi
kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati
harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila
rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila
rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya. (3). Telah
membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiya’ (21): 73,
“Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat”.
Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila
kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul
dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada
mereka.
Sifat-sifat pokok seorang pemimpin
tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mubarak
seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada empat syarat untuk menjadi
pemimpin: Pertama, memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah). Kedua,
memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un).
Ketiga, memiliki akhlak yang mulia (akhlaqulkarimah). Keempat, memiliki
kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur urusan-urusan
duniawi.
Dengan berbagai banyak kecakapan,
keahlian yang dijelaskan seperti diatas memang tampaknya hanya sedikit
atau mungkin tidak ada kader yang memiliki semua kemampuan tersebut.
Maka dari itu penting bagi kita menyediakan suatu pendidikan khusus yang
mengajarkan kepada mereka yang menjadi bekal ketika dalam menyiapkan
calon pemimpin. Tidak cukup pembekalan yang hanya sifatnya ruhiyah dalam
bentuk kajian-kajian saja. Pembekalan ini haruslah beriringan dengan
pembekalan dasar keorganisasian.
Sebagai contoh, suatu ketika nanti ketika
pemimpin tersebut dihadapkan dengan suatu persoalan suatu event,
tantangan akademik, dan lainnya. Walaupun kesusahan dan berjalan lambat
ia akan mampu bertahan karena iman dan kecintaannya terhadap jalan ini.
Namun tidak seorang pun didunia ini bahkan tiada seorang pun murobi
(selain Rasul SAW) yang mengetahui kadar batas iman seseorang sampai
dimana. Suatu hal yang tidak mungkin suatu saat pemimpin dakwah tersebut
akan kehilangan semangat, merasa sendiri, kegalauan hati, dan lainnya.
Klimaksnya adalah berkurangnya kontribusi, hingga mundurnya ia dari shaf
dakwah.
Pembekalan ruhaniyah itu penting, dan
pembekalan keorganisasian itu wajib. Akan lebih hebat jika ada seorang
pemimpin yang memiliki kerohanian yang bagus di iringi kemampuan
organisasi yang mumpuni. Sehingga ia memiliki senjata untuk menerjang
cobaan yang menghalau, ia memiliki tameng untuk menangkis serangan
futur, dan lainnya.
Tentang Penulis:Karena pada intinya adalah seorang pemimpin tidaklah dilahirkan, akan tetapi di bentuk. Jika kita berpandangan setiap 100 tahun akan lahir seorang pembaharu islam, lalu apakah 99 tahun menunggu kita akan terlena dalam kemunduran?
Penulis |
Kutipan : “Kalau KH. Ahmad Dahlan di sapa Sang Pencerah , Gue sang Inovatif”
Post a Comment